Lama sekali rasanya Saya tidak bepergian keluar Jakarta selain untuk kembali pulang ke rumah di Serang. Ya, hampir lupa rasanya pergi sejenak ke luar Jakarta meskipun hanya sejenak- Saya biasa menyebutnya; One Day Trip. Kebetulan, Agustus tahun ini banyak sekali tanggalan di almanak yang berwarna merah.
Bayangkan saja, masuk minggu kedua bulan Agustus, tanggalan merah jatuh diawal pekan dan akhir pekan. Nikmat bukan?
Sebenarnya, saya sudah menandai almanak itu sebelum tahun 2020 datang. Melihat tanggalan diakhir tahun, menyusun rapi rencana perjalanan panjang saat libur panjang sembari menikmati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia!
Akan tetapi, semua itu buyar ketika pandemi ini menerjang negeri tercinta sejak akhir Februari 2020. Tak pernah terpikirkan oleh saya selama ini. Hingga pada rencana panjang itu tiba, semua gagal dan gagal. Ternyata, keputusan saya untuk mengambil jatah cuti tahunan pada momen lebaran salah besar. Cuti saya terganggu pekerjaan! Dasar budak korporet! haha.
Ada pepatah yang bilang "Segala Sesuatu yang Dadakan itu Pasti Jadi" ternyata, saya mengamini itu!
Kesempatan menikmati tanggalan merah di almanak akhirnya terwujud. Perjalanan tipis-tipis dimulai! Kota Seribu Angkot jadi tujuan utama. Niatnya memang untuk motoran santai saja, karena memang ingin tahu rasanya pertama kali riding ke Bogor. Sepertinya semesta berpihak kepada Saya. 3 hari sebelum hari itu tiba, ada sebuah liputan dari Asumsi.co yang membahas tentang salah satu kawasan di kota Bogor. Kebetulan, Saya butuh referensi kota itu. Tanpa negosiasi yang alot, tujuan pertama Saya dan partner memang mencari sebuah tempat yang jadi tempat mengisi serta mengencangkan perut. Maklum, haus akan jajanan!
Berangkat pukul 06.30 (rencananya setelah Subuh, baru rencana) dari Jakarta, Saya memilih jalur lintas Jakarta - Bogor melalui Parung. Saya, ketika mendengar Parung ya tidak asing dengan satu hal; macet. Beruntung, karena tujuan Saya jatuh di tanggal merah, hari Jum'at pula. Jadi, ya kekhawatiran saya akan kepadatan di jalur ini sama sekali tidak terjadi.
2 jam kemudian, sambutan yang sejuk mulai Saya rasakan. Semilir angin yang Saya rasakan pagi itu sangat berbeda dengan yang Saya rasakan di Ibu Kota. Sejuk, tenang, dan membuat saya ingin kembali ke tempat tidur lalu menarik selimut. Tapi, Saya ingin bercerita sejenak tentang perjalanan mengencangkan perut di Kota Hujan, Bogor!
Berburu Jajanan di Suryakencana
Eh, awalnya memang ingin berkunjung ke sebuah desa budaya, Desa Sindangbarang namanya. Tapi, ketika mencari informasi tempat tersebut kata om google sih masih tutup. Karena perut sudah keroncongan, akhirnya Saya memutuskan untuk mencari sarapan di jl. Suryakencana, seperti yang ada di acara Asumsi Distrik.
Keputusan yang tepat sekali memang menjatuhkan pilihan untuk menikmati suasana pagi di Jl. Suryakencana, jajanan ringan hingga makanan ringan tersedia disini. Sebenarnya, Saya hanya memiliki tiga tujuan utama ketika akan merencanakan perjalanan keluar Jakarta sejenak ini:
Rumah Budaya Sindangbarang.
Kulineran di Jl. Suryakencana.
Ngopi di Kopi Daong.
Mari kita mulai cerita pertama untuk mengisi perut di sekitaran Suryakencana, Kota Bogor.
Jalan ini dikenal dengan "pecinan" yang ada di Kota Bogor. Bagaimana tidak, sepanjang saya membelokkan mr.grey kesayangan saya dari Plaza Bogor, nuansa pecinan tempo dulu sudah mulai terasa. Lawang Suryakencana sudah menunjukkan betapa jalan ini menjadi kawasan yang beragam dan kawasan pecinan.
Sepanjang jalan dari Plaza Bogor hingga akhir jalan Suryakencana ini didominasi oleh lapak-lapak khas kawasan pecinan seperti ornamen-ornamen hingga penamaan toko. Penelurusan dari Lawang Suryakencana dimulai hingga saya memutuskan untuk berhenti di Indomaret perempatan jalan tersebut. Saya merasa ingin menikmati keriuhan jalan itu di pagi hari dengan berjalan kaki.
Mata Saya tidak bisa tidak lepas dari sebuah panganan yang dari penamaannya cukup unik, "Cungkring." Karena jujur saja, meskipun saya besar di Tanah Sunda, saya baru kali ini menemukan sebuah panganan bernama Cungkring. Saya sih tahunya Cungkring itu adalah sebutan untuk seseorang yang memiliki perawakan kurus yang tinggi.
Saya ingat betul, namanya Cunkring Gurih Enyooy Bapak Jum'at. Pas sekali, Saya juga jajan di hari Jum'at- analogi macam apa ini. Sebelum memutuskan memesannya, Saya sedikit melakukan observasi kepada seorang pembeli yang memesan sebelum Saya. Karena jujur saja, meskipun Saya senang jalan dan jajan, kalau urusan makanan harus tetap milih, haha.
Oke, satu porsi untuk mengisi perut saya pikir cukup. Jika melihat porsinya yang banyak, ya memang cukup (untuk Saya). Saya mencoba unboxing Cungkring a-la food bloger. Tapi, janji dulu dengan Saya: ketika membaca artikel ini, jangan salahkan Saya karena Saya bukan food bloger sungguhan.
Cungkring ini disajikan pada sebuah daun pisang yang beralas kertas nasi. Berisikan kikil (sapi), gorengan tempe kering, dan ketupat yang dilumuri oleh bumbu kacang. Bagi yang suka pedas bisa request ke si-aa penjual. Harganya Delapan Belas Ribu Rupiah. Bagi Saya sih sepadan dengan rasa dan keberhasilan meredam perut Saya yang sudah bernyanyi sejak di perjalanan.
Oke, sudah kenyang. Mari melanjutkan perburuan jajanan di sepanjang jl. Suryakencana. Waktu itu, partner Saya ingin sekali mencoba Bakso yang terlihat ramai (padahal itu masih pagi). Okelah Saya turuti, katanya enak Baksonya. Sambil menunggu, saya melihat ada gerobak-gerobak yang menjual beberapa jenis makanan. Saya membungkus kue Ape (Kue Tete), dan membungkus jajanan lainnya.
Oh ya, setelah merasa kenyang, Saya melanjutkan perjalanan menuju Kampung Budaya Sindangbarang. Namun, saya ingin melanjutkan cerita kuliner di jl. Suryakencana setelah dari Sindangbarang. Siang harinya, Saya memutuskan untuk bertemu seorang teman partner Saya. Kali ini menitipkan mr.Grey di Plaza Bogor. Berjalan kaki dari Lawang Suryakencana.
Rencananya sih ingin mencicipi Soto Kuning, tapi Saya masih kenyang karena setelah dari Sindangbarang sempat mampir ke Botani Square, jauh-jauh ke Bogor mainnya tetep di mall. Akhirnya pilihan lain adalah mencicipi Asinan yang cukup terkenal di sepanjang jalan Suryakencana, Asinan "OH GOOD" Gedung Dalam. Sudah lupa rasanya mencicipi asinan. Terakhir kali, Saya makan asinan di Bandung, sudah lama sekali.
Asinan yang kami pesan berisi buah-buahan seperti salak, nanas, kates, bengkoang, mentimun, dan kacang goreng yang dilumuri oleh kuah asinannya. Segar sekali rasanya ketika badan sudah mulai terasa letih. Enak pokoknya!
Kampung Budaya Sindangbarang
Sebenarnya, pemilihan untuk berkunjung ke tempat ini ya karena melihat referensi dari Instagram. Saya sih awalnya ingin sekali menikmati curug-curug indah yang ada disekitaran Bogor atau Puncak. Tetapi, karena Saya sadar saya memutuskan pergi di libur panjang akhir pekan ya Saya cari aman saja. Daripada masuk berita dan terciduk di Simpang Gadog yang selalu jadi simpul kemacetan saat libur panjang. Kan bahaya.
Saya sendiri tidak terlalu berekspektasi lebih terhadap tempat ini. Paling ya tempat yang menyediakan ragam budaya khas tanah Priangan. Dan memang benar, ketika sampai di lokasi pun Saya disuguhkan dengan sebuah perkampungan adat yang konon sebagai kampung tertua di Bogor.
Satu hal yang membuat saya jatuh cinta dan cukup betah berada di Sindangbarang, hamparan alam yang terdiri dari undakan sawah serta kicauan burung di pagi hari yang sudah jarang sekali Saya dapatkan baik di Jakarta maupun dirumah. Huh. Belum lagi karena lebaran tahun ini Saya tidak pulang kampung ke Sumedang karena koronamaru.
Saya sendiri sangat menikmati keindahan dan kesegaran alam yang Tuhan ciptakan di Sindangbarang. Sembari menikmati alam, saya pun bernostalgia untuk melihat-lihat beberapa rumah adat khas Sunda yang didominasi oleh Awi (bambu) yang terdiri atas beberapa Imah Gede (rumah besar) dan Imah Alit (rumah kecil). Imah gede ini konon sering digunakan warga masyarakat sekitar untuk bermusyawarah.
Setelah puas menghirup udara segar dan menikmati suasana khas tanah Sunda, Saya memutuskan untuk turun gunung dan kembali ke Bogor Kota untuk menemui teman partner Saya.
Ngopi di Hutan Pinus
Sebenarnya, tempat yang terakhir ini hanya untuk memutus rasa penasaran Saya saja. Tempat ini sudah sering berseliweran di explore instagram dan twitter Saya. Belum lagi beberapa teman Saya membicarakan tempat ini. Katanya tempat ini sedang naik daun karena lokasinya dikelilingi hutan pinus yang sejuk.
Kopi Daong, sebuah tempat yang sedang hits bagi anak indie Jabodetabekdung yang harus akan kebutuhan tersier seperti kebutuhan kafein. Bayangkan saja, ketika saya menginjakkan kaki di tempat ini, Saya terkejut ramainya luar biasa. Padahal, ini hari Jum'at!
Bagi Saya, lokasi Kopi Daong sangat diluar nalar. Bayangkan saja, Saya menempuh perjalanan dari Suryakencana menuju desa Pancawati, Caringin, Kabupaten Bogor hampir 1 jam. Saya merasa dibohongi oleh maps!
Lokasi yang menanjak serta jalanan yang hanya cukup menampung dua kendaraan roda empat dari arah berlawanan semakin membuat perjalanan menuju lokasi terasa jauh. Untung saja ketika sampai di lokasi, Kopi Daong tidak terlalu mengecewakan.
Ada tiga tempat memesan di Kopi Daong yakni kedai utama, kedai express, dan kedai signature. Karena kondisi saat itu cukup ramai, akhirnya Saya memutuskan untuk memesan dari kedai express saja. Waktu itu saya memesan satu cup kopi daong dan satu cup red velvet. Harga untuk kedua cup saya pesan berkisar Rp.32.000,-
Saya rasa daya tarik utama dari tempat ini adalah lokasinya yang berada diantara hutan pinus serta didukung tempat yang cukup sejuh. Wajar saja banyak orang yang rela untuk naik gunung demi segelas kopi. Bagi pekerja seperti Saya ini, sesekali untuk melepas penat dari pekerjaan sangat perlu.
Cerita singkat sehari di kota hujan ini mungin jadi penanda perjalanan-perjalanan Saya berikutnya yang sempat terhenti karena pandemi ini. Pemanasan bagi Saya untuk memulai kembali serta memanaskan otot yang tertidur cukup lama karena harus di rumah aja. jadi, kemana langkah kaki membawa berikutnya?
Comments